Indonesia kembali heboh karena susu kental manis. BPOM melarang penyebutan kata susu untuk produk kental manis karena disebutkan bahwa tidak ada/sedikit sekali kandungan susu dalam produk kental manis. Singkat cerita, kandungan yang dominan dalam produk itu adalah gula.
Tak sedikit pihak yang merasa dibohongi oleh iklan produk kental manis. Sebagian pengguna media sosial bahkan mengancam akan menuntut ganti rugi atas penipuan puluhan tahun produk susu kental manis.
Sebelum berbicara lebih jauh perlu diingat ada banyak varian dari produk susu. Ada susu segar dan susu murni. Mengacu pada aturan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3141-1998 yang merupakan revisi dari SNI 01-3141-1992 mengenai standar susu segar, maka pengertian susu murni adalah cairan yang berasal dari kambing serta sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara yang benar, dengan kandungan alami yang tidak dikurangi atau ditambah serta belum mendapat perlakuan apapun. Sedangkan pengertian susu segar adalah susu murni yang disebutkan di atas dan tidak mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya.
Sudah tentu susu kental manis tidak masuk dalam dua kategori di atas. Definisi susu kental manis sendiri diatur khusus dalam SNI 2971:2011 yang merupakan revisi dari SNI 01-2971-1998, yang juga revisi dari aturan awal tentang susu kental manis dalam SNI 01-2971-1992.
Dalam standar ini disebutkan bahwa susu kental manis adalah produk susu yang terdiri dari bahan baku utama (susu segar dan/atau susu bubuk, air, gula) serta bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan untuk produk susu sesuai dengan ketentuan tentang bahan tambahan pangan.
Dalam aturan yang sama, susu kental manis didefinisikan sebagai produk susu berbentuk cairan kental yang diperoleh dari campuran susu dan gula dengan menghilangkan sebagian airnya hingga mencapai tingkat kepekatan tertentu atau hasil rekonstitusi susu bubuk dengan penambahan gula dengan/atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan.
Dari definisi di atas, sangat jelas disebutkan bahwa susu kental manis merupakan produk susu, yang harus mengandung susu entah itu berasal dari susu bubuk, susu skim, maupun susu segar.
Pertanyaan berikutnya, apakah susu kental manis yang saat ini beredar di Indonesia benar-benar mengandung susu?
Susu kental manis sendiri memiliki beberapa varian, misalnya susu kental manis, susu skim kental manis, susu skim sebagian kental manis, dan susu kental manis tinggi lemak. Dalam tabel syarat mutu disebutkan bahwa kandungan protein (Nx6,38) yang notabenenya berasal dari susu, jumlahnya bervariasi—mulai dari 4,8% hingga 6,8%, tergantung varian susu kental manis tersebut. Demikian pula dengan kandungan gulanya. Dalam satu takaran saji, kandungan gula/sakarosa yang diizinkan untuk semua varian susu kental manis adalah sebanyak 43-48%.
Faktanya, informasi nilai gizi pada kemasan produk dua merek susu kental manis yang paling terkenal di Indonesia sudah sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam susu kental manis Indomilk, misalnya, disebutkan bahwa per sajian 40 gram, terdapat kandungan gula sebanyak 19 gram (48%) dan protein sebanyak 1 gram (sekitar 3%). Sedangkan untuk merek Frisian Flag, disebutkan bahwa per sajian 40 gram mengandung 18 gram gula/sukrosa (45%). Ada pula 3% persen kandungan protein.
Kita bisa menarik kesimpulan bahwa kandungan kedua merek susu kental manis tersebut sudah disesuaikan dengan aturan yang ada, meskipun perlu juga kita mengkritisi perbedaan sekitar 1,8% dari kandungan protein kedua produk di atas dengan standar yang ditetapkan pemerintah.
Lalu dimana letak masalahnya?
Rendahnya Literasi Gizi
Nutrition literacy atau literasi gizi, menurut sebuah artikel yang dipublikasikan dalam jurnal Preventing Chronic Disease, adalah kapasitas untuk memperoleh, memproses, dan memahami informasi gizi dasar. Sebagus dan sekomplit apapun sebuah perusahaan dalam menyajikan nilai kandungan gizi dalam produknya, jika tingkat kemauan masyarakat untuk mencari tahu dan membacanya, informasi tersebut akan sia-sia saja.
Literasi gizi amat penting agar orang mencari tahu tentang kandungan nilai gizi terhadap makanan/minuman yang akan dikonsumsi. Orang dengan tingkat literasi gizi yang tinggi, tidak akan sembarangan mengkonsumsi makanan dan minuman sebelum memeriksa kandungannya. Sebaliknya, tingkat literasi gizi yang rendah akan menghasilkan masyarakat yang mudah termakan iklan, promosi, maupun ucapan orang.
Tingkat literasi Indonesia secara umum memang mengenaskan. Dalam daftar yang dikeluarkan oleh PISA, Indonesia berada di peringkat 64 dari 72 negara. Sedangkan dalam daftar yang dikeluarkan World’s Most Literate Nations, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara.
Pada prakteknya, masyarakat enggan untuk membaca informasi nilai gizi yang sudah ditempel dan disajikan oleh produsen dalam kemasan produknya. Bisa saja keengganan ini muncul karena bahasa yang dipandang terlalu ilmiah. Bisa juga karena informasi seperti ini dirasa kurang penting untuk dibaca.
Saya sendiri yakin bahwa faktor kedua lebih menentukan. Wajar saat ramai pemberitaan yang menyebutkan bahwa setengah kandungan susu kental manis adalah gula, masyarakat segera ramai berkomentar. Padahal, produsen sudah menyediakan informasi ini sejak awal. Seandainya tingkat literasi gizi masyarakat lebih tinggi, tentu perkara susu kental manis tak akan seheboh sekarang.
Tipu-Tipu Iklan Palsu
Kemauan untuk mencari tahu dan keinginan untuk membaca suatu informasi secara mutlak diperlukan agar masyarakat tidak mudah termakan berita palsu, termasuk false advertising.
Kamus marketing yang diterbitkan American Marketing Association menyebutkan bahwa false advertising adalah penggunaan informasi yang salah, menyesatkan, atau tidak terbukti kebenarannya, yang dibuat untuk mengiklankan sebuah produk kepada konsumen. Salah satu bentuk iklan palsu ini adalah mengklaim bahwa suatu produk memiliki manfaat kesehatan atau mengandung vitamin atau mineral yang sebenarnya tidak ada.
Kita bisa melihat bagaimana iklan-iklan susu kental manis di Indonesia diasosiasikan dengan minuman susu untuk anak-anak. Padahal, label kemasan produk telah menyebutkan bahwa susu kental manis tidak cocok untuk balita. Namun karena iklannya memakai anak-anak sebagai pemeran, muncullah anggapan bahwa bahwa susu kental manis bisa diminum semua kelompok umur, tak terkecuali balita.
Dalam iklan-iklan susu kental manis juga ditampilkan bagaimana produk ini bisa dikonsumsi dengan cara dibuat minuman yang dilarutkan dalam air. Padahal susu kental manis hanya berfungsi sebagai campuran (filling dan topping) untuk makanan seperti kue, bukan untuk diminum layaknya susu segar maupun susu bubuk.
Kesalahan konten iklan ini bisa jadi berasal dari produsen, mungkin juga dari rumah produksi yang salah mengartikulasikan kandungan gizi.
Berbeda dengan Indonesia, dalam iklan-iklan susu kental manis di negara lain, kita tidak akan menemukan anak-anak sedang meminum segelas susu kental manis. Ada pula kesalahan yang cukup fatal dalam mengkomunikasikan produk susu kental manis kepada masyarakat, yaitu pada gambar pada label kemasan. Sebuah iklan justru sengaja memasang gambar anak sedang meminum segelas susu kental manis. Sehingga membuat konsumen percaya bahwa susu kental manis bisa disajikan dengan cara yang digambarkan pada kemasan .
Sayangnya, iklan dan cara marketing seperti ini nyatanya terbukti cukup ampuh menyihir masyarakat agar mau mengkonsumsi susu kental manis yang tidak sesuai peruntukannya.
Peran Akademisi
Apakah dengan kebijakan BPOM saat ini sudah efektif dan tepat?
Yang perlu menjadi perhatian adalah susu kental manis sudah terlanjur dianggap sebagai barang konsumsi yang bisa rutin diminum harian dan mengandung kandungan gizi layaknya susu normal. Adalah PR besar untuk mengubah anggapan tersebut.
Di sinilah peran akademisi perlu disorot. Sebagai kelompok masyarakat terdidik, akademisi memiliki kapasitas—bahkan otoritas—keilmuan dan sumber daya untuk mendorong inisiatif literasi gizi.
Di Indonesia, terdapat 45 perguruan tinggi yang membuka program D3 Gizi, 20 perguruan tinggi untuk D4 Gizi, dan 45 Perguruan Tinggi yang membuka S1 Gizi. Jika setiap tahun ada 100 ahli gizi yang diwisuda, artinya ada 11.000 ahli gizi yang lulus tiap tahunnya. Itu baru akademisi dengan bidang ilmu yang spesifik seperti gizi. Belum lagi akademisi/ahli dari bidang lain seperti dokter, bidan, dan tenaga kesehatan masyarakat lainnya yang memiliki kapasitas dalam mengedukasi masyarakat.
Kenyataannya tidak demikian. Jumlah lulusan ilmu kedokteran/kesehatan tidak berbanding lurus dengan tingkat literasi gizi di masyarakat.
Pernah satu waktu seorang kawan bertanya ke salah seorang warga yang memberikan susu kental manis anaknya yang masih balita. Padahal sang kawan sudah mencoba menginformasikan fungsi susu kental manis yang sebenarnya.
Jawaban si warga: “Bu, bidannya saja mengizinkan kok”.
Sumber : https://tirto.id/salah-kaprah-susu-kental-manis-literasi-gizi-dan-tipu-tipu-iklan-cNPN